Susu merupakan bahan pangan asal hewani yang saat ini
semakin luas diterima dan dikonsumsi pada semua lapisan masyarakat dan umur. Diversivikasi produk olahan yang semakin
beragam baik untuk konsumsi, obat-obatan, dan kosmetik mendorong pengusaha sektor
hulu untuk meningkatkan produk susu segar berkualitas. Berbagai program pemerintahpun senantiasa
mendukung , restrukturisasi persusuan misalnya, bantuan-bantuan sapi perah baik
pada daerah sentra pengembangan ternak perah maupun di daerah-daerah
introduksi. Saat ini Indonesia barumampu memenuhi 20% kebutuhan susu dalam negri, sehingga importasi tidak mungkin
dielakkan.
Trend
baru yang muncul dalam diversifikasi produk olahan susu adalah penggunaan susu
sebagai bahan utama atau suplemen kosmetik dan bahkan menjadi minuman
kesehatan. Tren ini khususnya terjadi
pada konsumen susu kambing. Beberapa
sumber menyebutkan bahwa susu kambing memiliki berbagai manfaat bagi kesehatan,
contoh untuk mengurangi gejala asma, TBC, tivoid, menambah stamina dan lain
sebagainya (lebih lengkap silahkan baca disini). Penelitian yang telah meluas pada manfaat
susu kambing ditambah penyebaran informasi yang sangat cepat, menyebabkan meningkatnya
jumlah peternak kambing perah dan pertumbuhan populasi kambing peranakan ettawa
(PE) terutama di daerah Jawa. Bahkan
kambing PE pada tahun ini sudah dijadikan sebagai rumpun ternak kambing
nasional dalam Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 695/Kpts/PD.410/2/2013.
Seberapa
besar potensi kambing PE dalam menghasilkan susu segar? Sebagai keturunan
bangsa ternak perah, maka secara fisiologi ternak tersebut memiliki siklus
reproduksi yang mendukung dalam hal produktifitas susu, seperti tingkat
kebuntingannya tinggi, anestrus postpartum pendek, masa laktasi yang panjang,
dan lain-lain sebagainya. Seekor kambing
PE yang sudah produktif mampu menghasilkan hingga 1 hingga 2 liter susu segar/hari. Apabila rata-rata masa laktasi induk selama 168
hari, dengan harga rata-rata susu segar Rp. 3000/l, berarti seorang peternak
memiliki potensi memperoleh tambahan pendapatan sebesar Rp. 288.000,-/bulan/ekor
selama ternak memproduksi susu. Itu
kalau mengacu pada harga susu sapi perah, tapi harga susu kambing PE eceran
bukan Rp. 3000/liter, tapi antara Rp. 25.000 hingga Rp. 30.000/ liter seperti
yang dikemukakan oleh Asep Mulyana Ketua Asosiasi Peternak Kambing Peranakan
Etawa Nasional (Aspenas) (Kompas) atau sekitar Rp. 12.000 (Yogyakarta), yang
berarti peternak berpeluang memperoleh pendapatan hingga Rp. 1.152.000/bulan/ekor. Tidak heran, jika Malaysia (Negara tetangga
yang lihai melihat potensi) tidak sungkan-sungkan untuk menawarkan harga
puluhan juta rupiah untuk seekor pejantan PE juara sayembara seperti yang
terjadi di Jawa tengah untuk dibudidyakan disana, dan saat ini populasi kambing
PE di Malaysia sudah mencapai angka 5000 ekor lebih (baca).
Sekarang,
mari kita persempit pembahasan kita pada lingkungan sekitar, kehidupan pedesaan
di wilayah Provinsi Sulawesi Barat maupun Provisni Sulawesi Selatan. Kambing PE dikenal oleh masyarakat mandar
sebagai kambing Donggala, dikenal dengan perawakan tubuh yang tinggi dan bulu
surai yang lebat pada bagian paha. Suatu
hal yang sangat disayangkan bahwa kambing ini selama ini hanya menjadi
komoditas ternak potong dan dipelihara hanya menjadi ternak tabungan bagi
masyarakat kecil. Padalah potenis susu
kambing ini sangat besar dan berpeluang untuk dikembangkan. Diatas kita belum
menyinggung bagaimana potensi pemanfata limbah kandang (fese dan urin) yang
saat ini sedang giat-giatnya diolah menjadi pupuk organic dalam bentuk padat
maupun cair. Provinsi Sulawesi Barat memiliki
populasi kambing 216.520 ekor dan Sulawesi Selatan 539.900 ekor (Dirjenak,releas 2012). Jika Sulbar terkenal
dengan Kambing Majene (Kambing Donggala) atau Kambing PE nya yang tinggi dan di
Sulsel ada Kabupaten Enrekang yang kambingnya didominasi oleh kambing PE, maka
mengapa tidak kambing perah Sul-Sel-Bar di dorong pengembangan teknologi persusuannya.
Perencanaan
yang matang, sistematis dan konsisten memang sangat diperlukan untuk
menginisiasi hal ini. Catata pertama
yang perlu dingat adalah bahwa mindset
peternak kambing adalah peternak kambing potong (bukan peternak kambing perah),
yang berarti bahwa pola dan system pemelliharaan kambing harus dirubah terlebih
dahulu. Beberapa kelompok mahasiswa dari
Program Studi Peternakan Fakultas Peternakan dan Perikanan Universitas SulawesiBarat bersama dengan beberapa orang dosen pendamping saat ini sedang melakukan
upaya terobosan untuk melakukan upaya sosialisasi potensialisasi kambing PE di
salah satu desa di Kabupaten Polewali Mandar (Polman) dalam bentuk program kreativitas
mahasiswa. Agenda utamanya adalah
bagaimana agar masyarakat mampu untuk menyediakan pakan bagi kambing mereka
sesuai dengan kebutuhan masa produksi ternak.
Selama ini peternak tidak memperhatikan bahwa kebutuhan nutrisi baik
kuantitas maupun kualitas ternak bergantung pada siklus reproduksinya, sehingga
ternak bunting, postpartum, laktasi atau kering tetap saja diberi pakan sesuai
dengan kebiasaan dan kemampuan peternak.
Kita
tentu sangat berharap agar pemerintah nantinya berupaya untuk melakukan
inisiatif guna pembangungan persusuan kambing PE di Sul-Sel-Bar. Civitas akademika juga sebaiknya ikut
berkonstribusi bersama dengan elemen masyarakat baik dalam kegiatan pengabdian
maupun penelitian untuk memberikan dukungannya.
Saya sangat yakin bahwa masyarakat peternak sudah perhan mendengar
tentang potensi ini, namun inisiator dan pendampingan tentu menjadi
tanggungjawab bagi insane ilmuan dan pemerintah.
Semoga
Bermanfaat
Mawardi
A. Asja